Saturday, January 5, 2008

Pelajaran dari Tegalmindi



Tegalmindi adalah sebuah kampung di daerah Kaliurang, sekitar 10
kilometer ke utara dari pusat kota Yogyakarta. Tepatnya, Tegalmindi
adalah bagian dari Dukuh Dayakan, Kelurahan Sardonoharjo, Kecamatan
Ngaglik, Yogyakarta.

Sisa-sisa ciri kampung masa lalu masih kelihatan di sana; lumbung
padi yang tak terpakai, kandang hewan yang masih berisi sapi, juga
masih tersisa sedikit rumah petani model masa lalu. Tanahnya subur,
agak kehitaman. Endapan debu Gunung Merapi jelas kelihatan.

Walaupun tak jauh dari Yogyakarta, penduduk asli Tegalmindi hampir
seluruhnya wong cilik, bukan priyayi. Bentuk lahir, perilaku, serta
penampilan mereka menjelaskan semuanya. Memang, baik dari sisi
pandang lahir maupun tata nilai Tegalmindi sedang mengalami
perubahan. Namun masih banyak yang tersisa di sana.

Adat kenduri dengan yasinan serta bayen (bergadang tujuh hari
berturut-turut di rumah keluarga yang baru melahirkan bayi) masih
bejalan. Dari langgar-langgar acap terdengar puji-pujian dalam lagu
yang mungkin sudah berumur seabad. Namun yang paling menarik adalah
adat 'urip brayan' atau hidup bersama yang dihayati masyarakat asli
Tegalmindi secara sangat mendalam.

Bukan hanya dalam kehidupan lahir melainkan juga batin. Hal ini
muncul jelas ketika ada orang luar yang masuk dan akan menjadi
penduduk baru di Tegalmindi. Setidaknya, inilah yang dialami anak
saya ketika dia membeli tanah di sana untuk dijadikan tempat tinggal.

Ketika anak saya mengurus surat-surat tanah, sekretaris desa bertanya
dengan sangat sopan, apakah anak saya dari kalangan pesantren? Ketika
pertanyaan itu diiyakan, senyum Pak Carik mengembang. "Memang
mengapa, Pak Carik?" tanya anak saya. "Ah, tidak apa-apa. Setahu saya
orang pesantren mudah diajak urip brayan. Itu saja."

Karena telah mengetahui semangat hidup bersama masih sangat kuat di
Tegalmindi maka ketika rumah sudah jadi anak saya mengadakan kenduri
syukuran. Tetangga sekeliling yang hampir semuanya orang asli
diundang. Pada kesempatan itu anak saya menyatakan ingin diterima
sebagai warga baru yang ingin menyatu dalam semangat urip brayan
menuruti apa yang telah menjadi adat setempat.

Keesokan hari seorang nenek datang sambil membawa bakul berisi
sayuran. Nenek itu ingin memberikan sayuran itu kepada anak saya
sebagai tanda persaudaraan. "Bukankah sampeyan mau menjadi saudara
kami?" tanya nenek itu. "Tentu, Nek," jawab anak saya. "Tapi saya mau
tanya, apakah kalian akan juga akan membangun gerbang halaman seperti
orang baru di sana?"

"Belum dipikirkan, Nek. Memang kenapa?" Nenek itu hanya menjawab
dengan senyum yang penuh makna. Di kemudian hari anak saya tahu,
orang Tegalmindi tidak suka gerbang halaman. Mereka menganggap
gerbang adalah sekat yang memisahkan satu keluarga dengan masyarakat
umum. Atau simbol penampikan terhadap ajakan urip brayan, guyub-rukun
dalam kebersamaan. "Di Tegalmindi tidak ada maling, mengapa kamu
membuat gerbang dan pagar tembok keliling rumahmu? Apakah kamu orang
baru, menganggap kami mau mencuri?"

Beberapa hari yang lalu saya berada di Tegalmindi. Kira-kira jam 9
pagi terdengar pengumuman yang dikumandangkan dari mushala. Diumumkan
berita kematian dari Ibu Maria Sugiati yang tinggal di luar desa,
bahwa Pak Petrus suaminya, telah meninggal dunia. Disebutkan juga
nama-nama anak Pak Petrus yang semua menggunakan nama baptis. Saya
mengira pengumuman itu hanya sekali. Tapi saya salah kira. Dari
mushala yang lain pun terdengar pengumuman yang sama, dan mengajak
warga datang ke tempat Ibu Maria Sugiati.

"Jadi di sini dari mushala biasa diumumkan berita kematian?" tanya
saya. "Ya, dan bukan hanya dari keluarga muslim, seperti baru
terdengar tadi. Dari mushala juga sering diumumkan hal-hal yang
menyangkut masalah umum seperti posyandu, penarikan PBB, atau
lainnya." "Pernah juga dikumandangkan lagu berisi doa arwah yang
biasa terdengar pada kematian orang Nasrani," sambung menantu
saya. "Orang sini mungkin tidak mengerti arti
kata 'inklusif', 'multikultural' dan sebagainya, tapi mereka bisa
menghayatinya dengan sangat baik."

Saya diam. Teringat riwayat sekelompok orang Nasrani tamu Kanjeng
Nabi yang dipersilakan beribadat di masjid beliau yang mulia.
Entahlah, ketika membayangkan peristiwa itu saya merasa sangat
bahagia dan terharu. Lalu saya teringat sebuah pesantren tua paling
dekat dengan Tegalmindi. Pesantren Pandanaran. Dulu pengasuhnya
adalah kyai Mufid (almarhum) dan kini dilanjutkan putranya, Gus
Mu'tasim Billah. Saya kira, ajaran agama yang telah menjadi perilaku
budaya di Tegalmindi tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pesantren di
sekitarnya.

Memang, karena latar sosial dan sejarah yang berbeda kondisi
kemasyarakatan di Tegalmindi mungkin tidak bisa diterapkan di daerah
lain secara persis. Bahkan masyarakat Tegalmindi sendiri sedang
menghadapi tantangan berupa pengaruh dari luar yang terus mengerosi
adat urip brayan dan guyub rukun yang sudah lama membudaya. Sungguh
sayang.

( Ahmad Tohari )

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home