Wednesday, January 30, 2008

Renungan tahun baru 2008

Selamat Tahun Baru
9 Januari 2008 23:46:45
Oleh: A. Mustofa Bisri

Kawan, sudah tahun baru lagi
Belum juga tibakah saatnya kita menunduk
memandang diri sendiri
Bercermin firman Tuhan
Sebelum kita dihisabNya
(A. Mustofa Bisri, antologi Puisi Tadarus)

Tahun ini, tahun baru Hijriyah hampir bersamaan datangnya dengan tahun baru Masehi. Biasanya tahun baru Masehi disambut dengan hiruk- pikuk luar biasa. Sementara tahubaru Hijriyah yang sering disebut tahun Islam, tidak demikian. Tidak ada trek-trekan sepeda motor di jalanan. Tidak ada terompet. Tidak ada panggung-panggung hiburan di alon-alon.

Yang ada di sementara mesjid, kaum muslimin berkumpul berjamaah salat Asar –meski biasanya tidak— lalu bersama-sama berdoa akhir tahun; memohon agar dosa-dosa di tahun yang hendak ditinggalkan diampuni oleh Allah dan amal-amal diterima olehNya. Kemudian menunggu salat Maghrib –biasanya tidak— dan salat berjamaah lalu bersama-sama berdoa awal tahun. Memohon kepada Allah agar di tahun baru dibantu melawan setan dan antek-anteknya, ditolong menundukkan hawa nafsu, dan dimudahkan untuk melakukan amal-amal yang lebih mendekatkan kepada Allah.
Memang agak aneh, paling tidak menurut saya, jika tahun baru disambut dengan kegembiraan. Bukankah tahun baru berarti bertambahnya umur? Kecuali apabila selama ini umur memang digunakan dengan baik dan efisien. Kita tahu umur digunakan secara baik dan efisien atau tidak, tentu saja bila kita selalu melakukan muhasabah atau efaluasi. Minimal setahun sekali. Apabila tidak, insyaallah kita hanya akan mengulang-ulang apa yang sudah; atau bahkan lebih buruk dari yang sudah. Padahal ada dawuh: “Barangsiapa yang hari-harinya sama, dialah orang yang merugi; barangsiapa yang hari ini-nya lebih buruk dari kemarin-nya, celakalah orang itu.”
Apabila kita amati kehidupan kaum muslimin di negeri kita ini sampai dengan penghujung tahun 1428, boleh jadi kita bingung mengatakannya. Apakah kehidupan kaum muslimin --yang merupakan mayoritas ini-- selama ini menggembirakan atau menyedihkan. Soalnya dari satu sisi, kehidupan keberagamaan terlihat begitu hebat di negeri ini.
Kitab suci al-Quran tidak hanya dibaca di mesjid, di mushalla, atau di rumah-rumah pada saat senggang, tapi juga dilomba-lagukan dalam MTQ-MTQ. Bahkan pada bulan Ramadan diteriakan oleh pengerassuara- pengerassuara tanpa pandang waktu. Lafal-lafalnya ditulis indah-indah dalam lukisan kaligrafi. Malah dibuatkan museum agar mereka yang sempat dapat melihat berbagai versi kitab suci itu dari yang produk kuno hingga yang modern; dari yang berbentuk mini hingga raksasa. Akan halnya nilai-nilai dan ajarannya, juga sesekali dijadikan bahan khotbah dan ceramah para ustadz. Didiskusikan di seminar-seminar dan halqah-halqah. Bahkan sering dicuplik oleh beberapa politisi muslim pada saat kampanye atau rapat-rapat partai ...
Secara ‘ritual’ kehidupan beragama di negeri ini memang dahsyat. Lihatlah. Hampir tidak ada tempat ibadah yang jelek dan tak megah. Dan orang masih terus membangun dan membangun mesjid-mesjid secara gila-gilaan. Bahkan di Jakarta ada yang membangun mesjid berkubah emas. (Saya tidak tahu apa niat mereka yang sesungguhnya membangun rumah-rumah Tuhan sedemikian megah. Tentu bukan untuk menakut-nakuti hamba-hamba Tuhan yang miskin di sekitas rumah-rumah Tuhan itu. Tapi bila Anda bertanya kepada mereka, insya Allah mereka akan menjawab, “Agar dibangunkan Allah istana di surga kelak”. Mungkin dalam pikiran mereka, semakin indah dan besar mesjid yang dibangun, akan semakin besar dan indah istana mereka di surga kelak.
(Terus terang bila teringat fungsi mesjid dan kenyataan sepinya kebanyakan mesjid-mesjid itu dari jamaah yang salat bersama dan beri’tikaf, timbul su’uzhzhan saya: jangan-jangan mereka bermaksud menyogok Tuhan agar kelakuan mereka tidak dihisab).
Tidak ada musalla, apalagi mesjid, yang tidak memiliki pengeras suara yang dipasang menghadap ke 4 penjuru mata angin untuk melantunkan tidak hanya adzan. Bahkan ada yang sengaja membangun menara dengan beaya jutaan hanya untuk memasang corong-corong pengeras suara. Adzan pun yang semula mempunyai fungsi memberitahukan datangnya waktu salat, sudah berubah fungsi menjadi keharusan ‘syiar’ sebagai manifestasi fastabiqul khairaat; sehingga sering merepotkan mereka yang ingin melaksanakan anjuran Rasulullah SAW: untuk menyahuti adzan.

Jamaah dzikir, istighatsah, mujahadah, dan muhasabah menjamur di desa-desa dan kota-kota. Terutama di bulan Ramadan, tv-tv penuh dengan tayangan program-program ’keagamaan’. Artis-artis berbaur dan bersaing dengan para ustadz memberikan ‘siraman ruhani’ dan dzikir bersama yang menghibur.
Jumlah orang yang naik haji setiap tahun meningkat, hingga di samping ketetapan quota, Departemen Agama perlu mengeluarkan peraturan pembatasan. Setiap hari orang berumroh menyaingi mereka yang berpiknik ke negara-negara lain.
Jilbab dan sorban yang dulu ditertawakan, kini menjadi pakaian yang membanggakan. Kalimat thoyyibah, seperti Allahu Akbar dan Subhanallah tidak hanya diwirid-bisikkan di mesjid-mesjid dan mushalla-mushalla, tapi juga diteriak-gemakan di jalan-jalan.
Label-label Islam tidak hanya terpasang di papan-papan sekolahan dan rumah sakit; tidak hanya di AD/ART-AD/ART organisasi sosial dan politik; tidak hanya di kaca-kaca mobil dan kaos-kaos oblong; tapi juga di lagu-lagu pop dan puisi-puisi.
Pemerintah Pancasila juga dengan serius ikut aktif mengatur pelaksanaan haji, penentuan awal Ramadan dan ‘Ied. MUI-nya mengeluarkan label halal (mengapa tidak label haram yang jumlahnya lebih sedikit?) demi menyelamatkan perut kaum muslimin dari kemasukan makanan haram.
Pejuang-pejuang Islam dengan semangat jihad fii sabiilillah mengawasi dan kalau perlu menindak –atas nama amar ma’ruuf dan nahi ‘anil munkar-- mereka yang dianggap melakukan kemungkaran dan melanggar peraturan Tuhan. Tidak cukup dengan fatwa-fatwa MUI, daerah-daerah terutama yang mayoritas penduduknya beragama Islam pun berlomba-lomba membuat perda syareat.
Semangat keagamaan dan kegiatan keberagamaan kaum muslimin di negeri ini memang luar biasa. Begitu luar biasanya hingga daratan, lautan, dan udara di negeri ini seolah-olah hanya milik kaum muslimin. Takbir menggema dimana-mana, siang dan malam. Meski namanya negara Pancasila dengan penduduk majmuk, berbagai agama diakui, namun banyak kaum muslimin –terutama di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam— seperti merasa paling memiliki negara ini. Barangkali karena itulah, banyak yang menyebut bangsa negeri ini sebagai bangsa religius.
Namun, marilah kita tengok sisi lain untuk melihat kenyataan yang ironis dalam kehidupan bangsa yang religius ini. Semudah melihat maraknya kehidupan ritual keagamaan yang sudah disinggung tadi, dengan mudah pula kita bisa melihat banyak ajaran dan nilai-nilai mulia agama yang seolah-olah benda-benda asing yang tak begitu dikenal.
Tengoklah. Kebohongan dan kemunafikan sedemikian dominannya hingga membuat orang-orang yang masih jujur kesepian dan rendah diri.
Rasa malu yang menjadi ciri utama pemimpin agung Muhammad SAW dan para shahabatnya, tergusur dari kehidupan oleh kepentingan- kepentingan terselubung dan ketamakan.
Disiplin yang dididikkan agama seperti azan pada waktunya, salat pada watunya, haji pada waktunya, dsb. tidak sanggup mengubah perangai ngawur dan melecehkan waktu dalam kehidupan A Bidang Pengawasan Kehormatan Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim Komisi Yudisial saat menerima suap.
Penegak-penegak keadilan sering kali justru melecehkan keadilan. Penegak kebenaran justru sering kali berlaku tidak benar.
Maniak kekuasaan menghinggapi mereka yang pantas dan yang tidak pantas. Mereka berebut kekuasaan seolah-olah kekuasaan merupakan baju all size yang patut dipakai oleh siapa saja yang kepingin, tidak peduli potongan dan bentuk badannya..
Tidak hanya sesama saudara sebangsa, tidak hanya sesama saudara seagama, bahkan sesama anggota organisasi keagamaan yang satu, setiap hari tidak hanya berbeda pendapat, tapi bertikai. Seolah-olah kebenaran hanya milik masing-masing. Pemutlakan kebenaran sendiri seolah-olah ingin melawan fitrah perbedaan.
Kekerasan dan kebencian, bahkan keganasan, seolah-olah menantang missi Rasulullah SAW: rahmatan lil ‘aalamiin, mengasihi seluruh alam, dan tatmiimu makaarimil akhlaaq, menyempurnakan akhlak yang mulia.
Penghargaan kepada manusia yang dimuliakan Tuhan seperti sudah mulai sirna dari hati. Termasuk penghargaan kepada diri sendiri.
Waba’du; jangan-jangan selama ini –meski kita selalu menyanyikan ”Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”— hanya badan saja yang kita bangun. Jiwa kita lupakan. Daging saja yang kita gemukkan, ruh kita biarkan merana. Sehingga sampai ibadah dan beragama pun masih belum melampaui batas daging. Lalu, bila benar, ini sampai kapan? Bukankah tahun baru ini momentum paling baik untuk melakukan perubahan?
Selamat Tahun Baru 19429!

Saturday, January 12, 2008

MUNGKINKAH KITA SEKOLAH KE MANCA NEGARA ?

Terkadang pertanyaan itu muncul di benak kita saat kita mendengar cerita dari kawan yang sedang atau telah selesai belajar di manca negara. Namun ketika kita sadari kondisi diri kita tentulah itu suatu hal yang mustahil . Namun demikian didunia ini semuanya serba mungkin . Ada beberapa nasehat dari teman-teman yang telah berpengalaman menempuh studi di luar negeri yaitu keberanian untuk berpetualang dan berani mengambil keputusan serta siap mandiri dalam segala hal. Modal tersebut merupakan yang utama, baru kemudian dukungan keuangan . Sampai saat ini, berdasarkan penuturan Dr. AB Susanto ( BKLN Depdiknas ) negara tujuan utama bagi lulusan pelajar Indonesia yang akan melanjutkan studi ke luar negeri adalah pertama Amerika Serikat, dan kedua Australia. Setelah itu negara lain seperti Inggris, Jerman, Jepang, dll.
Menurut Dr. AB Susanto beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan pilihan untuk melanjutkan studi di luar negeri atau di dalam negeri seperti berikut :

Studi lanjut di dalam negeri.
Bila memilih melanjutkan studi di dalam negeri keuntungan yang diperoleh :

  1. Dekat dengan keluarga (istri/suami, anak, orangtua, saudara, tunangan/pacar).
  2. Biaya yang dibutuhkan lebih murah.
  3. Tidak terlalu dituntut menguasai bahasa asing dibanding jika kuliah di luar negeri.
  4. Berpikir dan menulis dalam Bahasa Indonesia mungkin tidak menjadi masalah.
  5. Gegar budaya kemungkinan tidak terjadi jika kuliah pada setting yang sama.

Adapun kerugian yang bakal diperoleh adalah :

  1. Konsentrasi terbagi dengan pekerjaan atau pencarian penghasilan tambahan.
  2. Umumnya studi S2 jarang dapat diselesaikan dalam 2 th, apalagi untuk S3-nya banyak molor waktunya.
  3. Sulit mendapatkan buku-buku terbitan mutakhir, terutama terbitan penerbit luar negeri.
  4. Keahlian pembimbing relatif terbatas sehingga mahasiswa harus menyesuaikan diri dengan keahlian pembimbing.
  5. Pada kondisi tertentu urusan non-akademik menjadi penghambat penyelesaian studi (intensitas pembimbingan kurang, otoritas pembimbing sangat kuat).
  6. Gegar budaya kemungkinan terjadi jika kuliah pada setting yang berbeda.
  7. Reward terhadap mahasiswa kurang diberikan.
  8. Ada kemungkinan ideologi negara membatasi kreativitas berpikir mahasiswa.
  9. Kurang bebas dalam mensosialisasikan hasil penelitian karena dikhawatirkan terlalu sensitif (menimbulkan masalah SARA).

Studi lanjut ke luar negeri.
Bagi yang telah memilih untuk melanjutkan studi ke luar negeri juga terdapat plus-minusnya. Adapun keuntungan yang akan diperoleh :

  1. Bisa mendapatkan buku-buku terbitan mutakhir di perpustakaan atau melalui interlibrary-loan.
  2. Kemungkinan dapat belajar spesialisasi baru karena perkembangan ilmu di luar negeri (baca: high/developed countries) lebih maju daripada di Indonesia.
  3. Menguasai bahasa asing negara setempat dan dapat belajar kebudayaannya.
  4. Sikap akademik, disiplin, menghargai orang lain menjadi lebih terbentuk, EQ pun terbina.
  5. Proses pembimbingan lebih fleksibel walau disiplin (terutama dalam hal waktu).
  6. Kemungkinan waktu studi lebih cepat (1-1,5 tahun)
  7. Kemungkinan dapat membina kerja sama dengan universitas tempat studi.
  8. Integritas sebagai bangsa Indonesia dan nasionalisme makin kuat (??).
  9. Wawasan menjadi lebih terbuka dapat membentuk national character building.

Adapun kerugiannya, yaitu :
Jauh dari keluarga. Jika keluarga diajak serta, diperlukan banyak biaya (fiskal & transport, biaya hidup, biayasekolah, suami/istri keluar/cuti demi pekerjaannya). Keluarga perlu waktu dalam penyesuaian diri dengan lingkungan baru.

  1. Hidup di negara lain kemungkinan menimbulkan gegar budaya.
  2. Jika keluarga ditinggal di Indonesia, perlu biaya komunikasi (telpon, fax, e-mail, surat), biaya ekstra untuk pembelian tiket ketika menjenguk keluarga (bagi yang tidak ada dukungan dari pemberi beasiswa, biasanya DAAD memberikan hal ini).
  3. Biaya menjadi semakin banyak jika harus studi dengan biaya sendiri.
  4. Home sick.
  5. Kemungkinan terjadi kesulitan dalam penyesuaian makanan dan iklim.
  6. Kemungkinan tanpa sadar mahasiswa terjebak membahas penelitian yang seharusnya tidak dikerjakan karena berkaitan dengan masalah politis Indonesia (memaparkan data rahasia negara).

Dengan melihat beberapa keuntungan dan kelebihan di atas serta bila dipadukan dengan kemampuan yang ada pada diri sendiri, maka keputusan untuk melanjutkan studi baik di dalam negeri atau di luar negeri akan dapat diambil dengan tepat.
Namun bila ingin melanjutkan studi ke luar negeri ada beberapa aspek lainnya yang perlu dipertimbangkan, yakni :

  1. Biaya pendidikan (beasiswa), cari info di kedubes negara yang menawarkan beasiswa ke Indonesia: Jepang, Australia, Austria, USA, Jerman, Belanda, Singapore, Malaysia, Bruneidarussalam, dll. melalui kerjasama pemerintah atau mencari beasiswa secara langsung ke universitas yang menawarkan beasiswa ( searching internet).
  2. Menentukan pilihan universitas.
  3. Menentukan disiplin ilmu (pindah major lain??).
  4. Penguasaan bahasa Inggris (TOEFL: 575 and TWE 4.5; IELTS 6.5 with no band less than 6) atau tes standar bahasa lain. Masing-masing jurusan mempunyai standar penguasaan berbeda. Misalnya: Fac. Of Architecture, Economics, Law pada umumnya membutuhkan TOEFL: 600 and TWE 4.5, IELTS 7 (with no bond less than 6.0); Fac. of Medicine (Dentistry, Medicine, Pharmacy) biasanya membutuhkan TOEFL 600 and TWE 4.5; IELTS 6.5 (with no band less than 6.0).
  5. Menentukan jalur macam kuliah yang hendak ditempuh: coursework, kombinasi coursework dan research, research(major thesis).

Course work : Pada umumnya kegiatan belajar ditekankan pada perkuliahan (diskusi, seminar, presentasi), tes, dan penulisan makalah. Bagi mereka yang belum pernah menempuh program Grad. Dipl./ S-2, program sebaiknya menempuh course work karena akan mendapatkan banyak ilmu (baru) dan berbagai perkuliahan. Course work membuat mhs amat sibuk, jadi harus pandai mengatur waktu antara kuliah, mempersiapkan tes, atau mengerjakan tugas.

Coursework & research : Mirip dengan di Indonesia: perkuliahan dan menulis thesis (minor).

Major thesis/research : Berpengalaman meneliti pada bidang spesialisasinya; Kegiatan utama adalah penelitian dan penulisan major thesis; Mahasiswa diperbolehkan sit in di kelas yang dianggap diperlukan bagi penulisen thesisnya atau atas anjuran pembimbing; Benar-benar harus mandiri dan disiplin.

  1. Mendapatkan rekomendasi dari mantan dosen.
  2. Mencari informasi tentang negara yang hendak dituju: keamanan, geografis, budaya dll.
  3. Siap mental untuk hidup di negara lain.

Setelah berada di lingkungan studi, kadang kala banyak kendala yang dihadapi baik yang datang dari diri sendiri atau dari luar. Semuanya itu akan mempengaruhi keberhasilan studi. Adapun faktor penentu tersebut meliputi :

· Suka belajar dan cinta ilmu dan ibadah, gelar (??).

· Investasi ilmu dan dedikasi terhadap pengembangan ilmu dan institusi.

· Disiplin.

· Pantang menyerah dan suka tantangan.

· Rasa keingintahuan tinggi.

· Berpikir positif.

· Menerapkon sinergi SWOT, dan tahu bahwa dirinya tahu, tahu bahwa dirinya tidak tahu, tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu.

· Hidup itu perjuangan (disertai doa).

· Kegagalan adalah merupakan kesuksesan yang tertunda.

· Tahu apa yang akan dan harus dilakukan (proaktif).

· Membina kekawanan dan mempunyai banyak kawan baik.

· Melibatkan diri dalam pergaulan internasionol agar kemampuan berbahasa asing terlatih dengan lebih baik.

· Terampil mengelola keuangan (beasiswa) selama studi.

Dengan bekal-bekal tersebut di atas, maka waktu dan proses studi terasa menyenangkan sekali, baik studi di dalam negeri atau di luar negeri.
Sumber :
susanto@zfn.uni-bremen.de dan http://rumputlaut.n3.net/

Semoga bermanfaat

Salam
http://kangmisno.multiply.com

Saturday, January 5, 2008

Pelajaran dari Tegalmindi



Tegalmindi adalah sebuah kampung di daerah Kaliurang, sekitar 10
kilometer ke utara dari pusat kota Yogyakarta. Tepatnya, Tegalmindi
adalah bagian dari Dukuh Dayakan, Kelurahan Sardonoharjo, Kecamatan
Ngaglik, Yogyakarta.

Sisa-sisa ciri kampung masa lalu masih kelihatan di sana; lumbung
padi yang tak terpakai, kandang hewan yang masih berisi sapi, juga
masih tersisa sedikit rumah petani model masa lalu. Tanahnya subur,
agak kehitaman. Endapan debu Gunung Merapi jelas kelihatan.

Walaupun tak jauh dari Yogyakarta, penduduk asli Tegalmindi hampir
seluruhnya wong cilik, bukan priyayi. Bentuk lahir, perilaku, serta
penampilan mereka menjelaskan semuanya. Memang, baik dari sisi
pandang lahir maupun tata nilai Tegalmindi sedang mengalami
perubahan. Namun masih banyak yang tersisa di sana.

Adat kenduri dengan yasinan serta bayen (bergadang tujuh hari
berturut-turut di rumah keluarga yang baru melahirkan bayi) masih
bejalan. Dari langgar-langgar acap terdengar puji-pujian dalam lagu
yang mungkin sudah berumur seabad. Namun yang paling menarik adalah
adat 'urip brayan' atau hidup bersama yang dihayati masyarakat asli
Tegalmindi secara sangat mendalam.

Bukan hanya dalam kehidupan lahir melainkan juga batin. Hal ini
muncul jelas ketika ada orang luar yang masuk dan akan menjadi
penduduk baru di Tegalmindi. Setidaknya, inilah yang dialami anak
saya ketika dia membeli tanah di sana untuk dijadikan tempat tinggal.

Ketika anak saya mengurus surat-surat tanah, sekretaris desa bertanya
dengan sangat sopan, apakah anak saya dari kalangan pesantren? Ketika
pertanyaan itu diiyakan, senyum Pak Carik mengembang. "Memang
mengapa, Pak Carik?" tanya anak saya. "Ah, tidak apa-apa. Setahu saya
orang pesantren mudah diajak urip brayan. Itu saja."

Karena telah mengetahui semangat hidup bersama masih sangat kuat di
Tegalmindi maka ketika rumah sudah jadi anak saya mengadakan kenduri
syukuran. Tetangga sekeliling yang hampir semuanya orang asli
diundang. Pada kesempatan itu anak saya menyatakan ingin diterima
sebagai warga baru yang ingin menyatu dalam semangat urip brayan
menuruti apa yang telah menjadi adat setempat.

Keesokan hari seorang nenek datang sambil membawa bakul berisi
sayuran. Nenek itu ingin memberikan sayuran itu kepada anak saya
sebagai tanda persaudaraan. "Bukankah sampeyan mau menjadi saudara
kami?" tanya nenek itu. "Tentu, Nek," jawab anak saya. "Tapi saya mau
tanya, apakah kalian akan juga akan membangun gerbang halaman seperti
orang baru di sana?"

"Belum dipikirkan, Nek. Memang kenapa?" Nenek itu hanya menjawab
dengan senyum yang penuh makna. Di kemudian hari anak saya tahu,
orang Tegalmindi tidak suka gerbang halaman. Mereka menganggap
gerbang adalah sekat yang memisahkan satu keluarga dengan masyarakat
umum. Atau simbol penampikan terhadap ajakan urip brayan, guyub-rukun
dalam kebersamaan. "Di Tegalmindi tidak ada maling, mengapa kamu
membuat gerbang dan pagar tembok keliling rumahmu? Apakah kamu orang
baru, menganggap kami mau mencuri?"

Beberapa hari yang lalu saya berada di Tegalmindi. Kira-kira jam 9
pagi terdengar pengumuman yang dikumandangkan dari mushala. Diumumkan
berita kematian dari Ibu Maria Sugiati yang tinggal di luar desa,
bahwa Pak Petrus suaminya, telah meninggal dunia. Disebutkan juga
nama-nama anak Pak Petrus yang semua menggunakan nama baptis. Saya
mengira pengumuman itu hanya sekali. Tapi saya salah kira. Dari
mushala yang lain pun terdengar pengumuman yang sama, dan mengajak
warga datang ke tempat Ibu Maria Sugiati.

"Jadi di sini dari mushala biasa diumumkan berita kematian?" tanya
saya. "Ya, dan bukan hanya dari keluarga muslim, seperti baru
terdengar tadi. Dari mushala juga sering diumumkan hal-hal yang
menyangkut masalah umum seperti posyandu, penarikan PBB, atau
lainnya." "Pernah juga dikumandangkan lagu berisi doa arwah yang
biasa terdengar pada kematian orang Nasrani," sambung menantu
saya. "Orang sini mungkin tidak mengerti arti
kata 'inklusif', 'multikultural' dan sebagainya, tapi mereka bisa
menghayatinya dengan sangat baik."

Saya diam. Teringat riwayat sekelompok orang Nasrani tamu Kanjeng
Nabi yang dipersilakan beribadat di masjid beliau yang mulia.
Entahlah, ketika membayangkan peristiwa itu saya merasa sangat
bahagia dan terharu. Lalu saya teringat sebuah pesantren tua paling
dekat dengan Tegalmindi. Pesantren Pandanaran. Dulu pengasuhnya
adalah kyai Mufid (almarhum) dan kini dilanjutkan putranya, Gus
Mu'tasim Billah. Saya kira, ajaran agama yang telah menjadi perilaku
budaya di Tegalmindi tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pesantren di
sekitarnya.

Memang, karena latar sosial dan sejarah yang berbeda kondisi
kemasyarakatan di Tegalmindi mungkin tidak bisa diterapkan di daerah
lain secara persis. Bahkan masyarakat Tegalmindi sendiri sedang
menghadapi tantangan berupa pengaruh dari luar yang terus mengerosi
adat urip brayan dan guyub rukun yang sudah lama membudaya. Sungguh
sayang.

( Ahmad Tohari )

Friday, January 4, 2008

Pencerahan

KEJAYAAN acapkali menjerembabkan seseorang, sesaleh apa pun, pada riya. Gejala semacam itu muncul di kalangan Wali Sanga, ketika Kasultanan Demak Bintoro mencapai puncak kejayaan, menyusul keberhasilan dakwah para penyebar Islam di Tanah Jawa tersebut. Para wali terjebak pada sikap simbolik, berlomba memamerkan kesalehan dan kehebatan melalui simbol pakaian.

Dihantui keresahan atas pengarusutamaan simbolisme itu, Sunan Kalijaga tergerak untuk melakukan pelurusan. Maka, waliyullah yang dikenal dengan pendekatan budayanya itu pun menyamar sebagai kakek pencari rumput bernama Kaki Waloko. Liding dongeng, lewat sosok Kaki Waloko, Kanjeng Sunan berhasil menyadarkan para Wali.

Semula, para wali merasa terganggu dan terlecehkan, dengan masuknya Kaki Waloko yang seorang rakyat jelata ke lingkungan istana Demak. Mereka kemudian melakukan upaya untuk menyingkirkan kakek tua pencari rumput itu. Tapi, upaya itu gagal, yang terjadi justru pertikaian antara para wali sendiri.

Ketika para wali berupaya mengejar, Kaki Waloko tak juga berhasil diketemukan. Para wali hanya berputar-putar di sekeliling padepokan Ki Waloko, tanpa bisa menjumpai orang yang mereka cari. Akhirnya, para wali disadarkan oleh Kaki Waloko, yang telah badar menjadi Sunan Kalijaga.

Lewat tokoh Kaki Waloko, Sunan Kalijaga melakukan proses enlightning (pencerahan) terhadap para wali. Kepada mereka, Sunan Kalijaga menjelaskan, mereka tersesat karena hati dan pikiran yang tidak bersih sehingga menutup jalan yang lempang. Dikatakannya, agama bukan sekadar pakaian dan kesalehan yang harus dibangga-banggakan melainkan ketetapan hati yang diwujudkan dalam sikap dan laku. Kesalehan adalah kebersihan hati, kepasrahan, dan keikhlasan jiwa untuk manembah kepada Allah.

Wednesday, January 2, 2008

Artikel 2

SI KEMBAR PUN PASTI BEDA
( catatan kecil kang guru )

Kemarin senin 31 desember 2007 beberapa temanku mahasiswa Indonesia sekitar pukul 18.00 datang ke asrama schollpllaz dimana aku tinggal, tak lain dan tak bukan tujuannya untuk mengajak merayakan pergantian tahun 2007 dan menyongsong tahun 2008 bersama-sama .Kala itu kami berlima mahasiswa indonesia ditambah seorang tetangga kamar mahasiswa dari pakistan yang tersisa dari penghuni asrama (sebagian besar pulang untuk merayakan natal di tempat masing-masing) berjalan menuju asrama Hochschule (sekolah tinggi teknik ) di kota karlsruhe, tempat dimana kawan-kawan mahasiswa Indonesia yang belajar di kota ini menyelenggarakan acara menyambut pergantian tahun. Sejenak kami lupakan rasa dingin yang menyengat dibadan untuk menghadiri undangan teman-teman kami. Sekitar pukul 21.30 kami berlima sampai di tempat acara, kemudian saling berkenalan satu sama lain dan dipersilahkan duduk ditepat yang sudah disediakan.Adheline , gita , ario bimo mahasiswa dari jakarta Ari wibowo dari surabaya Aji dari bandung dan beberapa yang lain yang tidak bisa disebutkan satu-satu saling bercanda ,bermain kartu, bola sodok, main kuis berantai sambil menunggu detik-detik pergantian tahun. Sungguh ceria suasana malam itu.

Kami berenam yang kebetulan datang agak terlambat duduk satu meja dengan Adhelin dan beberapa temannya mahasiswa diplom (S1) asal jakarta yang merupakan WNI keturunan cina ( generasi ke 6 ).

Ada suatu yang menarik dari pembicaraan kami, teman pakistan ‘amir khan’ bertanya padaku, misno......

‘ It is Indonesia ?’

‘ I think it is china’, timpalnya.

Aku tersenyum dan ku jawab

Yes it is Indonesia not china

Kejadian itu mengingatkanku pada kurun waktu dua bulan berada di kota ini. Beberapa hari setelah sampai di Jerman tepatnya hari minggu 4 nopember 2007, kami di undang kawan – kawan ikmik (ikatan mahasiswa muslim indonesia) di karlsruhe untuk menghadiri acara halal bihalal yang juga diikuti oleh beberapa kawan mahasiswa yang tinggal di berbagai kota seperti munchen, stuttgart, damstat dan lain sebagainya. Sekitar 80 warga indonesia baik yang masih berstatus mahasiswa maupun yang bekerja dan diajak pula keluarga handai taulan yang ada.Sungguh itu kesan yang mendalam, kami merasakan menu lonthong opor, ayam goreng, soto ayam dll. Hampir satu minggu perut ini berteriak untuk menikmati menu tsb, sehingga tidak merasa bahwa ini di negeri orang.

Sepertinya saat itu ada di Indonesia.

Pergaulan internasional

Suatu hari aku di undang oleh kawan sebelah kamar dari Amerika untuk menghadiri acara yang mereka namakan thanks giving (hari bersyukur) yaitu suatu perayaan tradisional dari amerika utara yang dirayakan pada hari kamis minggu ke empat bulan nopember merupakan bentuk ucapan rasa syukur atas anugerah Tuhan yang diberikan kepada mereka dengan diwujudkan melalui menyajikan berbagai hidangan makanan yang di peruntukkan bagi anggota keluarga . Karena jauh dari kelurga kawanku amerika ini mengundang teman-temannya untuk makan bersama. Disitu ada menu ayam kalkun, burger dan makanan khas orang barat tak lupa juga tersedia minuman beralkohol. Cukup bagiku makan kentang dan minum soft drink( coca cola ) untuk ikut serta dalam acara tersebut.

Ada cerita yang lain saat itu minggu 16 desember 2007 salah seorang kawan sebelah kamar dari India telah selesai studi di negeri ini , kemudia dia mengundangku untuk mengikuti suatu acara yaitu selamatan bersama warga/ penghuni Int.dept schollplaz yang telah selesai studi di Uni karlsruhe ini, ternyata hadir kawan- kawan dari berbagi negara ada dari Amerika, Spanyol, Meksiko Turki, India, China, Pakistan masing masing membawa masakan khas dari negaranya , ada banyak nama makanan dari berbagai negara yang tak ingat satu persatu yang jelas ada nasi disana . Sungguh itu suatu kesan tersendiri dalam hati , saat itu baru kusadari bahwa pergaulan internasional telah ku alami .Mereka datang dari latar belakang ,adat istiadat, suku bangsa, budaya, agama, bahasa yang berbeda namun bisa duduk satu meja, bercanda ria, makan bersama dan cerita baik suka maupun duka.

Sholat Idul adha dan Pesta Natalan

Aku dan teman mahasiswa Indonesia selaku umat muslim hari rabu 19 desember 2007 melaksanakan sholat idul adha di masjid An-nur yang berjarak sekitar 15 km dari tempat tinggal. Jam 07.15 berangkatlah aku berjalan kaki menuju ke stasiun kereta Durlacer Tor, kemudian kuambil uang receh 4,5 uero ( Rp. 60.000 ) dikantong, kemudian ku masukkan ke mesin tiket kereta dan keluarlah karcis secara otomatis yang bisa dipakai untuk naik kereta dalam kota kemana-mana kurun waktu 24 .beberapa menit kemudian kereta jurusan ke masjid An-nur datang aku naik dan memasukkan tiket yang telah dibeli ke kotak stempel tiket otomatis untuk menandai mulai jam berapa tiket itu digunakan dan masa berlakunya berakhir 24 jam kemudian.

Tepat pukul 09.00 Sholat Idul adha dimulai, tidak ada yang beda tata cara pelaksanaan kegiatan sholat sama seperti di Indonesia, namu ada hal yang menarik, usia kotbah di sampaikan kemudian jama’ah sholat yang datang dari berbagai penjuru negara saling bersalam-salaman, mengucapkan selamat hari raya Idul adha dan saling berpelukan sebagai manifestasi bahwa sesama muslim itu saudara meskipun berbeda suku, bangsa , bahasa, budaya namun terikat oleh keimanan yang sama.Saat aku dan teman sesama mahasiswa berbincang-bincang tiba-tiba datang Dr.Egendy dosen yang berkebangsaan mesir menghampiriku menyodorkan tangan dan mengucapkan selamat berlebaran. Kejadian itu sungguh mengesankan, tidak canggung bahwa dosen/guru mendahului muridnya untuk menyampaikan ucapan selamat berlebaran. Inilah suatu pelajaran yang sangat berharga. Meski dengan muridnya sendiri alangkah baiknya mengucapkan sesuatu yang bermakna terlebih dahulu....mungkinkah hal–hal kecil seperti ini bisa kita lakukan ?.

Kami merayakan idul adha disini tanpa potong hewan kurban., karena undang-undang pemerintah Jernman tidak memperbolehkan memotong/menyembelih hewan disembarang tempat. Bagi umat muslim Indonesia yang berkorban uang pembelian hewan kurban dikumpulkan oleh pengurus ikmik kemudian dikirim ke lembaga penyalur hewan kurban yang ada di Indonesia.

Kamis 20 desember 2007 Prof. Nezmann selaku ketua institute IWK Uni-Karlsruhe mengundang kami guest student dari Indonesia untuk megikuti pesta natal yang dihadiri oleh staff pengajar , administrasi dan karyawan di lingkungan institute tersebut. Disana banyak makanan khas jerman disajikan.Namun karena muncul keragu-raguan kupilih makanan camilan kacang, buah jeruk dan minuman gluh wein yaitu minuman yang terbuat dari buah anggur yang di petik diakhir musim anggur (aktober dan nopember ) yang khusus disajikan pada acara menjelang natal, sehingga minuman tersebut tidak mengandung alkohol.Rasanya sunguh nikmat dan menghangatkan badan. Rasa gluh wein itu sama persis dengan minuman yang kunikamati saat berkunjung ke negara luxemburg tanggal 9 desember 2007.

Sungguh berbagai hal yang aku alami kurun waktu 2 bulan di Jerman ini menyadarkan bahwa perbedaan asal-usul, budaya, bahasa , bangsa, bahasa , agama itu suatu keharusan yang patut kita syukuri. Karena dengan perbedaan tesebut bisa saling mengenal. Oleh karena itu sudah tidak sepantasnya kita sebagai bangsa Indonesia yang berbhineka tunggal ika saling memusuhi satu sama lain hanya karena beda suku, agama, berbeda aliran , warna kulit dan lain sebagainya. Meski seorang anak yang lahir didunia itu kembar, keduanya pun pasti ada perbedaan, mari hilangkan perbedaan diantara kita.

Sungguh benar anjuran dari agama “ Janganlah perbedaan yang ada dalam diri kamu menjadikan kamu perpecahan, namun itu adalah rahmat bagimu”.

Saat jarum jam menunjukkan pukul 23.45 panitia acara memberitahukan agar teman-teman semua keluar dari ruangan sambil membawa gelas masing-masing. Acara dilanjutkan diluar ruangan. Tepat jam 00.00 waktu setempat tiba kembang api dinyalakan dan kami pun saling berjabat tangan dan mengucapkan selamat tahun baru 2008 . Saya pun kemudian terus pulang ke asrama dengan harapan semoga di tahun 2008 bisa menjalani proses kehidupan yang lebih baik.

Sesungguhnya proses itu penting, karena sukses bukanlah sebuah tujuan melainkan suatu perjalanan ( success is not destination, but journey )

Selamat tahun baru 2008

Artikel 1

GURU NDESO LUNGO MONCO

Hari itu rabu 31 oktober 2007. Saat itulah pertama kali kuinjakkan kakiku di negeri Jerman. Negeri yang kudengar sayup-sayup adalah negeri yang maju dengan berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti apa yang disampaikan dosenku yang lulusan doktoral dari negeri tersebut.

Jerman, merupakan sebuah negara yang terletak tengah-tengah uni – eropa. Negara ini berbatasan dengan laut utara,Denmark dan laut baltik di utara, Polandia dan Republik czeh di timur, Autria dan Switzerland di selatan, Perancis, Luxembourg, Belgium dan Belanda di barat. Selesai perang Dunia II negara ini telah terpisah oleh kekuasaan barat. Akhirnya pada tahun 1990 Jerman timur dan Jerman barat telah bersatu kembali. Kini Jerman merupakan salah satu anggota Uni-eropa, NATO dan negara G8. Jerman adalah negara ketiga terbesar didunia.

Aku datang ke negeri ini bersama ketiga temanku sekelas program S2 UGM sesama guru yang beruntung berkesempatan mendapatkan beasiswa program depdiknas 2007, yaitu mengikuti kegiatan perkuliahan di Universitas karlsruhe jerman selama satu semester. Di jerman aku tinggal di mess international departemen schollplaz milik uni-karlsruhe yang diperuntukkan bagi mahasiswa asing yang belajar di universitas tersebut. Saat pertama kali kurebahkan badanku disofa baru terasa bahwa aku telah melakukan perjalanan yang cukup jauh, tak pernah terlintas dibenak pemikiran seorang guru yang tinggal dipedesaan, bisa menikmati perjalanan yang cukup lama dengan menggunakan 3 jenis pesawat terbang dan kereta api modern dalam kurun waktu 26 jam.

Berawal dari adanya program dari Biro kerjasama luar negeri Depdiknas berupa double degree. Aku salah seorang guru SMK yang beruntung berkesempatan menerima salah satu jenis program tersebut berupa sit in class program yaitu mengikuti kegiatan perkuliahan di Universitas karlsruhe jerman selama satu semester

Perjalanan ini dimulai dari rumah di belakang masjid di desa bebengan kec. Boja-kendal Selasa 30 Oktober 2007 jam 07.30 diatar saudara dan kerabat dengan meggunakan mobil Suzuki carry menuju bandara Ahmad Yani Semarang yang berjarak 25 km dari rumah, tiba disana pukul 08.30. Sekitar 1 jam kutunggu keberangkatan pesawat dari semarang menuju jakarta sambil menikmati keceriaan kumpul bersama dengan ketiga buah hati beserta ibunya dan kerabat dekat, terlihat sungguh indah suasana bandara Ahmad yani dipagi hari yang mudah – mudahan bisa menjadi pengalaman serta sebagai bahan cerita dua anakku yang sedang duduk di bangku kelas 1 dan kelas 2 di SD 02 Bebengan Boja. Perjalanan di lanjutkan dengan terbang bersama maskapai Adam Air pukul 09.30 menggunakan pesawat boing 737. Sampailah di bandara sukarno- hatta Jakarta pukul 10.25 WIB. Disela-sela menunggu jadwal penerbangan ke Jerman yang hampir 9 jam ku kabari keluarga bahwa telah sampai di jakarta dengan selamat . Kemudian kulanjutkan tugas- tugas yang lain seperti mengurus berbagai administrasi di kantor imigrasi badara berupa pengurusan bebas viskal ,lapor ke kantor maskapai penerbangan, menukar uang rupiah yang tersisa dengan uero dilanjtkan bording pass tiket pesawat.

Tepat jam 19.45 WIB perjalanan dilanjutkan menuju kuala lumpur menumpang maskapai penerbangan Malaysia air line menggunakan pesawat boing 737. Selama kurun waktu 2 jam perjalanan tersebut kunikmati layanan kru awak pesawat berbahasa melayu, nampah sungguh indah kepulauan nusantara , tanah airku yang akan kutinggalkan kurang lebih 6 bulan. Nampak dari kejauhan diatas awan samudera indonesia yang luas, pulau jawa dan sumatera yang menjadi bagian dari tanah air ku yang kucinta. Sampailah perjalanan ini di bandara kuala lumpur pukul 23.30 waktu setempat dengan selisih perbedaan 1 jam antara kuala lumpur dan Jakarta. Penumpang kemudian berpindah ke pesawat air bus yang berbadan lebar dan lebih besar dengan kapasitas penumpang 400 orang. Sekitar pukul 24.15 waktu kuala lumpur berangkatlah pesawat menuju Jerman dengan perkiraan waktu tempuh kurang lebih 12 jam tanpa henti (non stop)

Aku dan ketiga temanku duduk di kursi paling belakang yang hampir 90 % lebih penumpangnya adalah orang dengan badan tinggi, kulit putih dan hidungnya mancung. Kulihat dari udara samudera india, negeri india, pakistan, turkmenistan, laut kaspia negara-negara kawasan baltik, azerbaijan, moldova, slovakia, republik czech. Meskipun rasa capek dan jenuh karena duduk disatu tempat yang cukup lama dengan terbang di ketinggian lebih 12000 meter di atas permukaan laut , jarak yang ditempuh lebih dari 11.000 km. Terasa nikmat juga penerbangan tersebut hingga tiba saatnya pesawat mendarat di bandara frakfrut Jerman hari rabu 31 Oktober 2007 pukul 05.45 waktu setempat.

Setelah berbagai pemeriksaan administrasi imigrasi dilalui dan barang bawaan di bagasi sudah ditemukan perjalanan di lanjutkan dengan menumpang kereta ICE (internationla city express ) dengan tiket € 34 (sekitar Rp 450.000) menuju kota karlsruhe yang berjarak 150 km dari bandara Frankfurt dengan waktu tempuh 1 jam. Sampailah di internasional departemen schollplaz uni-karlsruhe pukul 9.30 waktu setempat, dengan beda waktu antara kota karlsruhe dengan kota kendal 6 jam lebih lambat.

Itulah perjalanan seorang guru ndeso yang sedang ngangsu kawruh (luru ilmu) ing negoro monco.